Sejarah tentang Prabowo Subianto
Prabowo adalah putra dari pasangan Soemitro
Djojohadikusumo (yang merupakan begawan ekonomi Indonesia)
dan Dora Marie Sigar,
atau lebih dikenal dengan nama Dora Soemitro.[2] Ia juga merupakan cucu
dari Raden Mas
Margono Djojohadikusumo, anggota BPUPKI, pendiri Bank Negara Indonesia dan Ketua DPA pertama. Prabowo Subianto
dinamai menurut Soebianto
Djojohadikoesoemo, pamannya yang gugur dalam Pertempuran Lengkong.
Ia memiliki dua kakak perempuan, Biantiningsih Miderawati dan Maryani
Ekowati, dan satu orang adik, Hashim
Djojohadikusumo.
Masa kecilnya banyak
dihabiskan di luar negeri. Ia menyelesaikan pendidikan dasar dalam waktu 3
tahun di Victoria
Institution, Kuala Lumpur, Sekolah Menengah di Zurich International School, Zurich, pada
tahun 1963-1964, SMA di American School, London pada kurun waktu
1964-1967. Pada tahun 1970, barulah ia masuk ke Akademi Militer Nasional, Magelang.[3]
Prabowo adalah keturunan
Panglima Laskar Diponegoro untuk wilayah Gowong (Kedu) yang bernama Raden
Tumenggung Kertanegara III. Prabowo juga terhitung sebagai salah seorang
keturunan dari Adipati Mrapat, Bupati Kadipaten Banyumas Pertama.[4] Selain itu, garis keturunannya
dapat ditilik kembali ke sultan-sultan Mataram.[5]
Prabowo menikah dengan Siti Hediati Hariyadi alias
Titiek Soeharto pada bulan Mei 1983 dan berpisah pada tahun 1998, tidak lama
setelah Soeharto mundur dari jabatan Presiden
Republik Indonesia.[6][7] Dari pernikahan ini, Prabowo
dikaruniai seorang anak, Ragowo "Didiet" Hediprasetyo[3]. Didiet tumbuh besar di Boston, AS dan sekarang tinggal di Paris, Perancis sebagai seorang desainer.[8]
Karier militer
Prabowo mengawali karier
militernya pada tahun 1969 dengan mendaftar di Akademi Militer Magelang. Ia lulus pada tahun 1974, satu tahun
setelah Susilo Bambang
Yudhoyono, Presiden
Republik Indonesia ke-6.[9]
Operasi di Timor Timur
Prabowo (kedua dari kiri) saat di Timor Timur.
Pada
tahun 1976 Prabowo bertugas sebagai Komandan Pleton Grup I Para Komando Komando
Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha) sebagai
bagian dari operasi Tim Nanggala di Timor Timur, saat itu dia berumur 26 tahun dan
merupakan komandan termuda dalam operasi Tim Nanggala. Prabowo memimpin misi
untuk menangkap Nicolau dos Reis
Lobato, wakil ketua Fretilin yang pada saat itu juga menjabat
sebagai Perdana Menteri pertama Timor Timur. Dengan tuntunan Antonio Lobato
yang merupakan adik Nicolau Lobato, kompi Prabowo menemukan Nicolau Lobato
di Maubisse,
lima puluh kilometer di selatan Dili.
Nicolau Lobato tewas setelah tertembak di perut saat bertempur di lembah
Mindelo pada tanggal 31 Desember 1978.[10]
Pada
akhir tahun 1992, Xanana Gusmao berhasil
ditangkap dalam operasi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Prabowo.[11] Informasi mengenai keberadaan
Xanana Gusmao diperoleh dari sadapan telepon Ramos Horta di pengasingan.[11]
Prabowo
telah terlibat dalam kematian pemimpin kemerdekaan Timor Leste Nicolau dos Reis
Lobato pada bulan Desember 1978. Dia juga terhubung
dengan pembantaian Kraras di
tahun 1983 di Kraras, yang dikenal sebagai desa janda, yang menyebabkan sekitar
300 orang dibunuh oleh tentara Indonesia.[12][13]
Di Kopassus
Pada
tahun 1983, Prabowo dipercaya sebagai Wakil Komandan Detasemen
81 Penanggulangan Teror (Gultor) Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Setelah menyelesaikan
pelatihan Special Forces Officer Course di Fort Benning, Amerika Serikat, Prabowo diberi tanggungjawab
sebagai Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara. Pada tahun 1995, ia sudah
mencapai jabatan Komandan Komando Pasukan Khusus, dan hanya dalam setahun sudah
menjadi Komandan
Jenderal Komando Pasukan Khusus.[14]
Penyelamatan Mapenduma
Pada
tahun 1996, Komandan Kopassus Prabowo Subianto
memimpin operasi
pembebasan sandera Mapenduma. Operasi ini berhasil menyelamatkan
nyawa 10 dari 12 peneliti Ekspedisi
Lorentz '95 yang disekap oleh Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Lima orang yang disandera adalah peneliti
biologi asal Indonesia, sedangkan 7 sandera lainnya adalah peneliti dari
Inggris, Belanda dan Jerman.[15] Namun, operasi ini dikritik
karena menggunakan lambang Palang Merah pada helikopter putih untuk
menipu anggota OPM.[5][16]
Pengibaran
bendera di Puncak Everest
Pada tanggal 26 April 1997, Tim Nasional
Indonesia ke Puncak Gunung Everest berhasil
mengibarkan bendera merah putih di puncak tertinggi dunia setelah mendaki
melalui jalur selatan Nepal. Tim yang terdiri
dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI, dan Mapala UI ini diprakarsai oleh Komandan Jenderal Kopassus, Mayor Jenderal TNI Prabowo
Subianto.[17] Ekspedisi
dimulai pada tanggal 12 Maret 1997 dari Phakding, Nepal.
Pengamanan 1998
Sebagai Pangkostrad yang membawahi pasukan
cadangan ABRI yang jumlahnya cukup besar pada waktu itu (sekitar 11 ribu
prajurit) , Prabowo dimintai pertolongan oleh Panglima Kodam Jaya untuk mengamankan
Jakarta yang berada dalam suasana kacau. Permintaan ini dipenuhi Prabowo
dengan membantu mengamankan sejumlah bangunan penting, khususnya rumah dinas
Wakil Presiden B.J. Habibie di Kuningan.
Meskipun
akhirnya perannya ini kemudian menimbulkan kontroversi, namun ia juga mengambil
beberapa langkah penting yang menentukan arah reformasi pada waktu itu. Antara
lain ia berhasil membujuk Amien Rais untuk membatalkan rencana doa
bersama di Monas. Ia juga bertanya kepada Habibie mengenai
kesiapannya jika sewaktu-waktu Soeharto turun, apakah siap menjadi Presiden,
yang memberi sinyal kepada Habibie untuk bersiap menggantikan Soeharto.
Selain
itu pada 14 Mei 1998,
Prabowo berinisiatif mengadakan silaturahmi dengan beberapa tokoh reformis
seperti Adnan Buyung Nasution,
Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjajanto, dan lain-lain.[23] Ia juga sempat didesak untuk
memainkan peran seperti Suharto pada tahun 1965,[24] yang secara tegas ditolaknya
karena merasa bahwa masih berada di bagian bawah jenjang protokoler
kepemimpinan dalam masa genting, berbeda dengan peran Suharto waktu itu yang
memungkinkan untuk mengambil kendali karena kosongnya kepemimpinan TNI selama
hilangnya para jenderal. Selain itu, ia menyatakan tidak ingin kudeta terjadi
karena hanya akan menimbulkan kudeta-kudeta lainnya.[25]
Prabowo
diberhentikan sebagai Pangkostrad pada tanggal 22 Mei 1998 oleh Presiden Habibie karena menggerakan pasukan Kostrad dari berbagai daerah menuju Jakarta di luar komando
resmi Panglima ABRI saat itu, Wiranto, sehari setelah Habibie diangkat menjadi Presiden menggantikan Soeharto. Kemudian Prabowo digantikan oleh Johny Lumintang yang hanya menjabat sebagai Pangkostrad selama 17 jam,
dan kemudian digantikan oleh Djamari Chaniago.[27] Setelah
pemecatan tersebut, Prabowo menemui Presiden Habibie, dan sempat terlibat
perdebatan yang sengit. Setelah itu Prabowo menempati posisi baru sebagai
Komandan Sekolah Staf Komando (Dansesko) ABRI menggantikan Letjen Arie J Kumaat. Selanjutnya, Prabowo harus menjalani sidang Dewan
Kehormatan Perwira. Dalam sidang tersebut, Prabowo disinyalir terlibat dalam penculikan aktivis saat masih menjabat sebagai Danjen Kopassus. 15 Perwira
tinggi bintang tiga dan empat mengusulkan ke Pangab Wiranto agar Prabowo
dipecat. Hal itu dianggap sebagai akhir karier militer Prabowo.[28] Pembicaraan
tersebut dibantah oleh Prabowo.[29] Pada Pilpres
2009 ketika Prabowo dicalonkan sebagai cawapres Megawati, Ketua DPP Partai
Gerindra, Fadli Zon, juga membantah bahwa Prabowo dipecat dari Pangkostrad,
melainkan diberhentikan dengan hormat.[30][31] Sementara itu
pada 2012 dalam acara Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS)[32] Prabowo
mengakui bahwa dia dipecat oleh Habibie.[33]
https://id.wikipedia.org/wiki/Prabowo_Subianto
https://id.wikipedia.org/wiki/Prabowo_Subianto